Susi Purwanti

Berusaha memaknai hidup, seorang guru di SMPN 1 Kotabaru - Karawang Jawa Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Warna Warni Masa Kecil (Edisi Tanggul Citarum Jebol Bagian 2)

Warna Warni Masa Kecil (Edisi Tanggul Citarum Jebol Bagian 2)

(Edisi Tanggul Citarum Jebol Bagian 2)

#Harike8

#TantanganGurusiana8

Menjelang pagi hari selesai shalat subuh yang aku lalukan di atas tempat tidur, air mengaliri kamar sudah setengah lutut kakiku. Tirai jendela aku buka, di luaran sana masih agak gelap karena matahari belum menampakkan sinarnya, hanya terlihat semburat merah dari arah timur. Tapi suara orang-orang diluaran sana terdengar ramai.

“Mudah-mudahan Wak Amad dapat di selamatkan sama Dadang dan kawan-kawannya yaa”, ujar Pak Endut  yang suaranya terdengar ke dalam kamarku, karena di luar kamar balandongan (pendopo) yang posisinya lebih tinggi disbanding halaman depan penuh dengan orang-orang yang mengungsi, mereka duduk di atas balai-balai yang airnya hampir saja menenggelamkan balai tersebut. Aku keluar dan ku amati orang-orang yang mengungsi, ternyata ada teman satu kelasku Nani yang rumahnya dekat tanggul Sungai Citarum.

“Nani kalau aku tau kau ada di sini mengungsi, aku ajak kau tidur bersamaku…”, ujarku sambal memegang tangan Nani yang terasa dingin.

“Trimakasih Nciii, kami sekeluarga datang menjelang subuh, air sudah diatas pinggang sekitar rumahku, bahkan katanya rumah Cici Melin yang dekat sekolah kita sudah di atas dada ketinggiannya”, cerita Nani sambal menerawang.

“Mari silahkan bapak-bapak, ibu-ibu untuk menghangatkan tubuh, ada teh hangat”, kata ibuku sambal membawa teko besar dan gelasnya.

“Trimakasih buu….”, ujar orang-orang yang mengungsi di depan balandongan Pak Haji Sanih dengan wajah senang mereka menyambut hidangan ala kadarnya yang di sediakan ibuku.

“Hey lihat Wak Amad selamaaat…”, teriak Pak Endut sambal berlari ke arah Wak Amad yang dipanggul memakai tandu oleh Mang Dadang dan teman-temannya.

Kami semua menyambut Wak Amad dengan suka cita, dan langsung di bawa ke dalam rumah Pak Haji Sanih. Lega rasanya melihat Wak Amad selamat, beliau sebelum lumpuh setahun yang lalu adalah marbot masjid di kampung kami. Kalau shalat tarawih di mesjidnya, Wak Amad tidak pernah menampakkan wajah kesalnya kalau kita lari-larian di masjid sebelum shalat di mulai. Bahkan Sarif sering memainkan pukulan bedug, tapi Wak Amad dengan wajah ramah menasehati kami. Pokoknya Wak Amad itu baik sekali menurutku.

Tiba-tiba perutku terasa mulas, duhhh bagaimana ini, dan dimana aku harus buang air besar. Kamar mandi dan satu-satunya toilet tempat buang air besar kami kan terendam banjir.

“Buuu, aku ingin buang air besar”, ujarku sambil meringis memegangi perut. Ibu langsung memanggil bapak. Tak lama kemudian bapak kembali dan mengajakku ke samping rumah. Tentu saja tetap dalam keadaan banjir dari air Sungai Citarum, dan ternyata bapak sudah membuat kayu yang di ikatkan pada pohon dan tembok rumahku, seperti jembatan.

“Ncii kau buang air di sini yaa, pegangan sama pohon di sampingmu, nanti kotoranmu akan terbawa air yang mengalir ini, dan cuci dengan air yang banjir ini juga yaa”, ujar bapak memberikan saran sambil menatapku seperti meyakinkan bahwa semua itu tidak apa-apa dengan kondisi banjir seperti ini. Aku pun mengikuti saran bapak.

Bagiku banjir akibat tanggul Citarum banjir ini menyenangkan, bisa main air sepuasnya, berenang di halaman rumah Bersama Nani, bahkan Darni, Sarif bermain air dan berenang dekat rumahku karena halaman rumah Pak Haji Sanih yang sekarang penuh air ini sangat luas.

“Horeeee aku dapat ikaaan”, ujar Sarif dengan wajah senang dan memamerkan ikan itu di hadapan kami.

“Wahhh beruntung kau Riff dapat ikan, aku tadi dapat sendal jepit yang ku kira ikan”, sungutku sambal nyengir. Teman yang lain semua menertawakanku.

Selepas bermain-main air aku kembali ke rumah untuk mengganti baju yang basah, ketika melewati kamar aku tak sengaja mendengar percakapan ibu dan bapak.

“Pak, minyak tanah untuk memasak tinggal sedikit lagi lho, kita harus membelinya di mana, warung Pak Ali itu juga kan sama kebanjiran, coba tanya beliau barangkali ada minyak tanah yang terselamatkan, biar kita bisa membelinya”, keluh ibu sama bapak. Aku yang mendengar tertegun sejenak dan berfikir, ini baru persediaan minyak tanah yang menipis, belum lagi beras dan air bersih barangkali. Aku berlalu.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tahun berapa Bu Susi?2010 rumahku juga terendam sungai citarum.

06 Apr
Balas

Waktu saya SD Buu... Sekitar tahun 1981an

06 Apr

Alah eta si encii.Banjir oge pake mules sagala... dah gitu malah renang deuih nya...hahahaaa kumaha mun nu kasiuk si eta nu koneng...hahahaaa...

06 Apr
Balas

Ha ha ha .... Panggilan alam

07 Apr

Waduhh sakit peyutt

06 Apr
Balas

Hihihi ... Gampang kok miss... Air kan banyak, Haaa

06 Apr

keren, tulisan yang mengalir bagai air

07 Apr
Balas

He he ... Trimakasih Bu Santhy...

10 Apr

Kisah yang menarik untuk dikenang

06 Apr
Balas

Kenangan waktu kecil itu tetap terekam biasanya .. trimakasih Pak sudah mampir di sini. Salam...

06 Apr

Teu kabayang tirisna... Tp setelah terlewati semua menjadi indah

06 Apr
Balas

Yang kebayang dulu belum jaman ada air mineral ... Persediaan air bersih di gentong habis... Terpaksa minum air yang ada

06 Apr



search

New Post